Dalihan Na Tolu dan Budaya Kerja
Dalihan
Na Tolu merupakan identitas etnis Batak. Dalam buku “Masyarakat dan Hukum Adat
Batak Toba” ditulis J.C Vergouwen menyebutkan, Dalihan Na Tolu adalah unsur
kekerabatan warga masyarakat Batak. Maka setiap sub-etnis Batak memiliki garis
penghubung satu sama lain.Dalihan Na Tolu dari sisi bahasa berarti tungku yang
berkaki tiga, saling menyokong. Tanpa ada yang lebih tinggi. Dalihan Na Tolu
dalam status dan peranan seseorang berbeda nama sama, memang agak paradoks.
Adalah;
Hulahula disebut pihak istri atau ibu. Dongan Sabutuha berarti semarga atau
selevel. Dan, pihak Boru adalah pihak yang menerima anak perempuan hulahula.
Terangkum somba marhulahula, elek marboru, manat mardongan tubu. Masing-masing
saling menghormati: pihak hulahula, mawas terhadap saudara semarga dan membujuk
rayu, melindungi, mengayomi (boru) putri.
Sistim
sosial ini menjadi filosofi, dan terlihat dalam upacara adat. Setiap unsur
memiliki hak dan kewajiban yang berbeda, namun pada prinsipnya sama. Setiap
orang Batak menduduki ketiga status ini, pada saat tertentu dia bisa boru,
hulahula, dan dongantubu. Jadi tidak selamanya posisi boru melekat. Paradoks
tadi, ia bisa menjadi boru bisa menjadi hulahula—di adat borunya.
Dari
sisi religi, Dalihan Na Tolu menggambarkan relasi manusia dengan sang pencipta.
Yang disebut banua toru, banua tonga dan banua ginjang. DR.Philip.O.Tobing
dalam bukunya The Structure of the Toba Batak Belief in the High God (1963)
menyebutkan, Batara Guru, Bala (Mangala) Sori, dan Bala (Mangala) Bulan adalah
representasi dari masing-masing hulahula, dongan-sabutuha dan boru.
Di
lima sub-etnis Batak; Karo, Pakpak, Simalungun, Mandailing/Angkola, Toba.
Dalihan Na Tolu memiliki persamaan. Toba; Dongan Sabutuha, Hulahula, Boru.
Sedangkan Simalungun menyebutnya Tolu Sahundulan; yang berarti Tondong
(Toba=Hula-hula), Sanina (Dongan Sabutuha), Boru (boru).
Sementara
di Karo menyebut, Daliken Sitelu atau Rakut Sitelu. Istilah Daliken Sitelu
berarti tungku yang tiga. Daliken berarti batu tungku, sementara Si samadengan
Telu tiga. Menunjuk pada esensi kehidupan sehari-hari. Yang juga mengambarkan
ada ikatan setiap individu Karo tidak lepas dari tiga kekerabatan tersebut.
Unsur Daliken Sitelu ini adalah; Kalimbubu (Toba;Hula-hula), Sembuyak atau Senina
(Dongan sabutuha), AnakBeru (Boru).
Sama
juga di Mandailing/Angkola sistim kekerabatan itu menunjukkan arti tumpuan,
menunjuk pada hakekatnya yang didukung oleh kata dalian. Dalian berarti tumpuan
mendasar pada budaya. Tumpuan Yang Tiga bagi kelangsungan hidup masyarakat
Mandailing/Angkola. Mereka menyebut Mora (Toba; Hula-hula), Anakboru (boru),
Hahanggi (Sabutuha).
Etos
Habatahon
Meminjam
istilah Guru Etos Indonesia Jansen Sinamo menyebutkan, Etos Habatahon berasal
dari Unok ni partondian, Parhatian Sibola Timbang, Parninggala Sibola Tali,
Pamoru Somarumbang, Parmahan So Marbatahi. Etos Habatahon dalam Batak Toba bisa
dilihat dari motto Anakhonhi Do Hamoraon di Ahu. Etos yang mendorong Toba
identik pekerja keras. Ditambah budaya 3H Hamoraan, Hagabeon, Hasangapon. Demi
kekayaan, status sosial mereka dipacu menjadi sedikit ambisius dari sub-eknis.
Etos
kerja Simalungun terlihat dari nilai-nilai sehari-hari semboyang Habonaron Do
Bona. Yang berarti segala tindakan dilandasi dengan kebenaran. Filosofi tersebut
mendorong Simalungun bertindak benar berlandaskan azas yang benar pula. Hal itu
terpancar dari sifat penuh kehatihatian dalam pekerjaan.
Filosofi
kerja Pakpak; Ulang Telpus Bulung. Bisa diartikan daun jangan sampai terkoyak
atau bocor, daun yang dimaksud daun pisang yang dipakai sebagai alas makanan
pengganti piring (pinggan pasu). Ulang Telpus Bulung menekankan berani
berkorban. Dalam budaya kerja sifat ini perlu ada.
Etos
kerja orang Mandailing/Angkola terlihat dari sisitim “Marsialap Ari” adalah etos
kerja yang selalu didukung dengan team work. Masyarakat Mandailing/Angkola
terlihat pekerja telaten, sabar, dan pekerja keras.
Sedangkan
Sada Gia Manukta Gellah Takuak menjadi filosofi Karo. Artinya walaupun
seseorang hanya memiliki seekor ayam, yang terpenting berkokok. Ayam berkokok
simbol membangunkan orang untuk bagun pagi hari. Filosofi ini memotivasi
masyarakat Karo gigih bekerja. Sifat ringan hati untuk berusaha.
Etos
Habatahon didasari dari semangat kerja, yang diadopsi dari sistim nilai-budaya.
Budaya yang berakar pada Dalihan Na Tolu tersebut berproses mejadi sebuah
sistim nilai kerja. Etos Habatahon bisa dirasakan lewat alunan gondang. Gondang
dengan paduan suaranya akan membawa suara yang indah, tetapi jika hanya
dibunyikan satu alat musik saja tentu suaranya sumbang. Artinya ada etos team
work. Dipaduan gondang itu. Ia indah takkala perpaduan suara gendang yang lain.
Etos
Habatahon jika tinjau dari sisi budaya kerja sekuler berarti, mengerti posisi.
Ada waktunya menjadi bos (hulahula), ada saatnya menjadi mitra kerja
(Dongansabutuha), ada saatnya menjadi pesuruh, karyawan, karier terbawah
(Boru).
Namun,
sesungguhnya ketiga sistim tadi tidak bisa berdiri sendiri, harus kait
mengkait. Hulahula (boss, pemimpin) harus mengayomi, memperhatikan boru
(karyawan-nya). Dongansabutuha atau rekan kerja, sesama selevel harus saling
menghargai, di depan bos. Boru (karyawan) harus menghargai pimpinan sebagai
pemilik perusahaan. Artinya ada moral kerja tertanam di filosofi Dalihan Na
Tolu.
Pakar
Manajemen Rhenald Kasali mengatakan, dalam pekerjaan memang perlu ada moral
(morale). Sebab, moral kerja itu adalah spirit yang mesti dimiliki setiap orang
untuk hidup atau bekerja. Dengan moral kerja yang tinggi seorang percaya diri
terhadap masa depan. Bekerja dengan etos kerja yang tinggi berarti pula
membantu diri menemukan tujuan hidup. Terpacu karena mengerti posisi.
Karena
itu, diperlukan semacam dekonstruksi identitas budaya bagi pemahaman filosofi
budaya kerja. Agar pesan moral Dalihan Na Tolu menjadi watak, karakter, sifat
budaya. Yang bisa menjelma menjadi etos kerja menunjang karier.
Menghargai
kearifan budaya berarti mempunyai perangi etos kerja, sebagai budaya yang
melekat pada setiap orang. Dan menumbuhkembangkan kearifan budaya
masing-masing. Maka mutu dan produktifitas akan tumbuh.
Etos
kerja budaya berarti berfikir menggunakan akal (karsa) dari kearifan budaya.
Spirit kerja mendorong seseorang produktif, karena ada karsa menjelma menjadi
sistim nilai. Kearifan budaya tersusun atas pikiran sadar dan bawah sadar
kemudian menjadi filosofi. Kearifan Budaya mengajarkan kita saling menghargai,
mengetahui posisi, porsi, dan kapasitas diri.
Kearifan
budaya berkembang karena perkembangan paradigma masyarakat-nya. Jadi, mengapa
malu memakai etos budaya dalam bekerja, sebab nilai-nilai budaya tidak kala
baik dari semangat kapitalisme Barat. Jadi, filosofi Dalihan Na Tolu jika
dihubungkan dengan budaya kerja akan menghasilkan etos (spirit) Habatahon.
Komentar
Posting Komentar